Sekitar akhir waktu dhuha atau pukul 10.30 lebih waktu Gorontalo dan sekitarnya, membisu dan kaku. Suhu ruangan Subag Program mulai hangat disusupi berkas-berkas terik matahari Gorontalo. Masing-masing sibuh dengan pekerjaannya, ada juga yang menyibukkan diri dengan kebanggaan prestasi dan ambisi. Bangku sebelahku masih kosong dan dingin. Dari jendela ruangan lantai dua tempatku menanti upah terlihat dua mobil mewah baru saja memarkir.
Dengan gagah seorang bapak pakaian rapih turun dan tergesa-gesa dari Toyota Fortuner bernomor polisi DM 31. Tiba-tiba salah seorang staf bergelar doktor diruanganku memintaku untuk membelikan koran lokal terbitan hari ini. Tempatnya tidak jauh dari tempat dudukku, hampir 3 meter kubelakangi tempat duduknya. Sambil mengiyakan kusambut tangannya yang mengulurkan uang Rp. 4000 pecahan 2 keping Rp. 500 kuningan, 2 keping Rp. 500 perak dan 2 lembar Rp. 1000 bergambar pahlawan Nasional Kapitan Patimura memegang Golok. Empat ribu rupiah harga segulung koran.
Sambil merogoh kunci kendaraan dalam saku celana, aku berlalu dari ruangan untuk berburu koran. Dua kali turun tangga cukup untuk membakar kalori dalam tubuhku yang sedang puasa. Sebentar saja aku telah berada diatas sepeda motor Honda Revo hitam yang kupacu dengan kecepatan 50 Km/Jam. Ramai aktifitas warga mengesankan kerasnya hidup. Sekilas kusaksikan pemulung yang mendorong gerobaknya lambat tapi sigap. Di telinga kanannya terselip sebatang rokok yang sedikit ditutupi rambut yang ubanan. Betisnya yang hitam legam menampakkan otot calvesnya yang kuat mendorong gerobak yang berisi sampah plastik. Sekitar 20 meter didepan gerobaknya tampak traffic light berdiri sabar menyalakan lampu merah. Setelah melewatinya, aku berhenti tepat dilampu merah yang kaca lampunya ditutupi debu yang menebal sehingga terlihat samar-samar. Kalau di Jakarta ada Bundaran HI, maka di Gorontalo juga ada bundaran HI (Hulonthalo Indonesia,red) . Butuh 150 meter lagi dari tempat pemberhentianku ke bundaran HI. Tepat di bundaran HI berdiri malu sepasang patung berpakaian khas daerah Gorontalo dengan pose gerak tari khas Gorontalo pula. Mendekati dua patung yang berada diatas sebuah tuguh itu terlihat tiga polisi sedang berjaga-jaga mengawasi kalau-kalau ada pelanggaran lalulintas. Tidak jauh dari tiga polisi itu berdiri diantara lalu-lalang kendaraan seorang bocah usia sekitar 10 tahun sibuk menjajakkan koran. Aku berhenti disudut bundaran persis didekat barisan motor gedeh pak polisi yang terparkir rapi seperti barisan petugas pengibar bendera pada acara tujuh belasan. Salah seorang polisi melihatku dengan curiga. Aku cuwek saja karena ku pikir tak ada satupun cela yang bisa dikenai pelanggaran bagiku.
Sambil mengangkat kaca helem, ku panggil bocah loper koran dan dia pun dengan sigap berlari kearahku.
"Barapa?"tanyaku sambil merogoh uang yang dikasih untuk membeli koran.
"Empat ribu" jawab anak itu sambil menyodorkan segulung kotan Gorontalo Post terbitan hari ini.
Sedikit basa basi mencoba mendapatkan informasi mengenai latar belakangnya ku buka dialog dan menanyakan aktifitasnya disamping menjajakkan koran.
"So kalas barapa ngana?" tanyaku dengan senyum sepuluh senti.
"So tidak skola om" jawabannya datar.
"Kenapa so tidak skolah uti?"tanyaku lagi iseng. Namun jawabannya masih saja datar yang hanya diisyaratkan dengan mengerutkan bibir sambil mengangkat bahu. Melihat tanggapannya yang tertutup, aku pun melipat koran yang diberinya dan bersiap kembali ke kantor. Tapi tiba-tiba dia berkata dengan suara serak "mo cari uang om". Mendengar jawabannya aku pun bertanya tentang tanggapan orang tuanya dan latar belakangnya. Dari penyampaiannya sentak hatiku getir. Ayahnya adalah seorang kuli dipasar sentral sedang ibunya berjualan nasi kuning dipasar sentral juga. Dia adalah anak ke 4 dari 5 bersaudara. Aneh, alasannya tidak melanjutkan sekolah adalah karena tidak memiliki biaya, pada hal biaya pendidikan telah digratiskan oleh pemerintah daerah dan juga banyak program dari pemerintah pusat untuk membantu biaya pendidikan. Ada bantuan BOS dari pemerintah pusat, ada Prodira dari pemerintah Provinsi, dan bantuan lain bagi siswa berprestasi kurang mampu. Begitu banyak anggaran yang dikucurkan oleh pemerintah khusus untuk mereka yang sulit membeli bangku sekolah. Lalu apa sebenarnya permasalahan yang sebenarnya terjadi. Apakah program pendidikan gratis tidak cukup membiayai? Apakah anggaran untuk pendidikan harus ditambah dua kali lipat?Atau program tersebut tidak tepat dengan realita saat ini? Dan akan timbul banyak pertanyaan yang tidak selamanya perlu dijawab dengan uang.
Hampir sama juga dengan kenyataan yang aku temui dari membeli koran pada seorang bapak paruh bayah. Dia biasa mangkal di perempatan dekat kampus besar di Gorontalo. Topi bundar warna krem selalu memayunginya dari terik matahari kota yang memuakkan. Karatan sepeda ontel menjadi cat favorit kendaraannya. Tidak jauh dari perempatan itu ada tempat pengobatan alternatif yang dikerumuni banyak pengunjung. Sempat kami mengobrol tetang pelayanan pengobatan yang diberikan ditempat tersebut. Rupanya bapak penjual koran ini banyak tahu tentang pelayanan ditempat itu. Lantas satu yang begitu memekit dirongga kepalaku. Orang ini lebih dulu mengungkapkan tanpa aku tanya. Apa katanya?
"Gaga daa am pohunemo limongolio teto boyito pak", ungkap loper koran yang juga mantan pasien ditempat tersebut.
Semula aku biasa saja mendengarkan dia mengungkapkan kepuasannya setelah berobat ditempat itu. Tapi yang lebih memilukan adalah ketika dia mengatakan pilihan utamanya pada tempat tersebut.
"Tengga halelo moi wunemo teto boyito, dari pada monao ede Rumah Sakit atau de Puskes. Bo tanggulio gratis, lapa tao mota debo dadata ubayariolo." Beliau menyangsikan pelayanan pengobatan konvensional seperti di Puskesmas dan di Rumah Sakit. Padahal, sudah banyak pelayanan ditempat tersebut telah digratiskan oleh pemerintah. Lalu dimana letak permasalahannya?Apakah pelayanan pengobatan konvensional tak mendapat kepercayaan lagi dari mereka yang memilih tempat pengobatan alternatif?Apakah alasannya adalh biaya? Padahal prodak yang dijual ditempat itu juga mematok hargra yang tinggi. Apakah petugas kita yang kurang memberikan kenyamanan dan kepercayaan? Bahkan yang diungkapkannya ada seorang petugas kesehatan juga menggunakan prodak disitu.
Masalah sebenarnya dimana? Tidak ada. Tapi bagaimana dengan anggaran besar untuk pelayanan kesehatan tapi toh tetap tidak puas dinikmati oleh sebagian kalangan. Ini sebenarnya hanya soal keyakinan. Tapi apakah pelayanan kesehtan medis tidak begitu meyakinkan mereka? Banyak yang antri berjam-jam untuk dilayani ditempat itu. Tapi coba tengok dulu yang mau memeriksakan kesehatannya di Puskesmas atau yang ingin memperoleh pengobatan di Rumah Sakit. Katanya gratis, tapi kok masih harus bayar juga? Ini yang menjadi aduan mereka yang tak terpuaskan. Namun kalau coba lebih dalam lagi kita berfikir atau kembali pada konsep peradaban yang sebenarnya. Ada kalimat yang cukup populer yaitu "Mencegah lebih baik dari pada mengobati". Selama ini anggaran yang dikucurkan hanya untuk bagaimana masyarakan mendapatkan pengobatan secara menyeluruh dipelayanan kesehatan. Semakin diguyur oleh anggaran kuratif gratis, semakin banyak pasien dan semakin banyak yang tidak terpuaskan. Cukup alot memang memikirkan hal ini.
Lain lagi dengan ibu yang berprofesi sebagai penarik bentor dan sekaligus loper koran. Dahsyat memang semangat ibu ini dalam mengais rezeki. Sebenarnya dia lebih senang memacu bentornya dari pada menjadi loper koran. Tapi sejak BBM dinaikkan, ibu tiga anak ini terpaksa memarkir bentor pinknya di perempatan jalan eks agusalim untuk menjajakkan koran. Diungkapkannya, bahwa dia akan selalu menunggu harga bensin menurun dari harga saat ini. Bagai mengharap embun disiang hari. Ibu ini pasrah dengan kesibukannya sekarang. Dilain sisi dia mensyukuri adanya program pendidikan dan kesehatan gratis, tapi ditengah terik dia masih risau dengan dapurnya yang jarang mengepulkan asap. Janda anak tiga ini bahkan sangat yakin jika suatu saat nanti akan ada pemimpin yang akan menggratiskan BBM.
Sekejap aku geli menahan tawa. Tapi memang itu yang diimpikannya. Tak ada pekerjaan lain yang ingin ia kerjakan selain menarik bentor dan menjual koran. Pekerjaan ini begitu membanggakan buat dia. Menurutnya, mengantarkan orang adalah hal yang membahagiakan. Demikian juga dengan menjual koran. "Dari bajual koran ini saya termasuk orang yang ba kase informasi tentang kenaikan harga lo bensin" pungkasnya polos tapi menyisahkan lubang dihati. Sedikit yang memiliki pandangan seperti ini di zaman konsumtif. Lalu akan bagaimana nanti nasip bocah ini tanpa pendidikan. Bagaimana rupa pengobatan konvensional saat ini sehingga banyak yang beralih ke pengobatan alternatif. Dan sampai kanap ibu ini menunggu BBM digratiskan?
Inilah kenyataan yang aku temui dijalanan yang dapat aku share pada blog papa ini. Mohon maaf atas kekurangan, mohon dikoreksi agar lebih baik lagi. Satu baris lirik lagu Ebit G. Ade untuk menutup tulisan ini, sekaligus menghibur hati yang risau akan kenyataan yang sulit untuk dirubah. Semoga kita bisa mengambil hikmah dari setiap dinamika hidup sering mengesalkan. "Coba tanya pada rumput yang bergoyang!!!". Sekian..
Arman S
Tidak ada komentar:
Posting Komentar